“Telah pasti dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau melakukan kegiatan pada
bulan Sya’ban yakni berpuasa. Sedangkan qiyamul lail-nya banyak beliau
lakukan pada setiap bulan, dan qiyamul lailnya pada malam nisfhu sya’ban
sama halnya dengan qiyamul lail pada malam lain. Hal ini didukung oleh
hadits-hadits yang telah saya sampaikan sebelumnya, jika hadits tersebut
dhaif maka berdalil dengannya boleh untuk tema fadhailul ‘amal
(keutamaan amal shalih), dan qiyamul lailnya beliau sebagaimana
disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah yang telah saya sebutkan. Aktifitas
yang dilakukannya adalah aktifitas perorangan, bukan berjamaah.
Sedangkan aktifitas yang dilakukan manusia saat ini, tidak pernah ada
pada masa Rasulullah, tidak pernah ada pada masa sahabat, tetapi terjadi
pada masa tabi’in.
Al Qasthalani menceritakan dalam kitabnya
Al Mawahib Al Laduniyah (Juz.2, Hal. 259), bahwa tabi’in dari negeri
Syam seperti Khalid bin Mi’dan, dan Mak-hul, mereka berijtihad untuk
beribadah pada malam nishfu sya’ban. Dari merekalah manusia beralasan
untuk memuliakan malam nishfu sya’ban. Diceritakan bahwa telah sampai
kepada mereka atsar israiliyat [5] tentang hal ini. Ketika hal tersebut
tersiarkan, maka manusia pun berselisih pendapat, maka di antara mereka
ada yang mengikutinya. Namun perbuatan ini diingkari oleh mayoritas
ulama di Hijaz seperti Atha’, Ibnu Abi Malikah, dan dikutip dari
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam bahwa fuqaha Madinah juga menolaknya,
yakni para sahabat Imam Malik dan selain mereka, lalu mereka mengatakan:
“Semua itu bid’ah!”
Kemudian Al Qasthalani berkata: “Ulama
penduduk Syam[6] berbeda pendapat tentang hukum menghidupkan malam
nishfu sya’ban menjadi dua pendapat: Pertama, dianjurkan menghidupkan
malam tersebut dengan berjamaah di masjid., Khalid bin Mi’dan dan
Luqman bin ‘Amir, dan selainnya, mereka mengenakan pakain bagus, memakai
wewangian, bercelak, dan mereka menghidupkan malamnya dengan shalat.
Hal ini disepakati oleh Ishaq bin Rahawaih, dia berkata tentang shalat
berjamaah pada malam tersebut: “Itu bukan bid’ah!” Hal ini dikutip oleh
Harb Al Karmani ketika dia bertanya kepadanya tentang ini. Kedua, bahwa
dibenci (makruh) berjamaah di masjid untuk shalat, berkisah, dan berdoa
pada malam itu, namun tidak mengapa jika seseorang shalatnya sendiri
saja. Inilah pendapat Al Auza’i, imam penduduk Syam dan faqih (ahli
fiqih)-nya mereka dan ulamanya mereka.” Selesai kutipan dari Syaikh
‘Athiyah Saqr Rahimahullah. (Fatawa Al Azhar, Juz. 10, Hal. 131.
Syamilah)
3. Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah
Beliau menjelaskan tentang hukum mengkhususkan ibadah pada malam Nishfu Sya’ban:
ومن البدع التي أحدثها بعض الناس: بدعة الاحتفال بليلة النصف من شعبان،
وتخصيص يومها بالصيام، وليس على ذلك دليل يجوز الاعتماد عليه، وقد ورد في
فضلها أحاديث ضعيفة لا يجوز الاعتماد عليها، أما ما ورد في فضل الصلاة فيها
فكله موضوع، كما نبه على ذلك كثير من أهل العلم، وسيأتي ذكر بعض كلامهم إن
شاء الله. وورد فيها أيضًا آثار عن بعض السلف من أهل الشام وغيرهم. والذي
عليه جمهور العلماء: أن الاحتفال بها بدعة، وأن الأحاديث الواردة في فضلها
كلها ضعيفة وبعضها موضوع، وممن نبه على ذلك الحافظ ابن رجب في كتابه [لطائف
المعارف] وغيره، والأحاديث الضعيفة إنما يعمل بها في العبادات التي قد ثبت
أصلها بأدلة صحيحة، أما الاحتفال بليلة النصف من شعبان فليس له أصل صحيح
حتى يستأنس له بالأحاديث الضعيفة.
“Dan di antara
bid’ah yang di ada-adakan manusia pada malam tersebut adalah: bid’ahnya
mengadakan acara pada malam nishfu sya’ban, dan mengkhususkan siang
harinya berpuasa, hal tersebut tidak ada dasarnya yang bisa dijadikan
pegangan untuk membolehkannya. Hadits-hadits yang meriwayatkan tentang
keutamaannya adalah dha’if dan tidak boleh menjadikannya sebagai
pegangan, sedangkan hadits-hadits tentang keutamaan shalat pada malam
tersebut, semuanya adalah maudhu’ (palsu), sebagaimana yang diberitakan
oleh kebanyakan ulama tentang itu, Insya Allah nanti akan saya sampaikan
sebagian ucapan mereka, dan juga atsar (riwayat) dari sebagian salaf
dari penduduk Syam dan selain mereka. Jumhur (mayoritas) ulama berkata:
sesungguhnya acara pada malam itu adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang
bercerita tentang keutamaannya adalah dha’if dan sebagiannya adalah
palsu. Di antara ulama yang memberitakan hal itu adalah Al Hafizh Ibnu
Rajab dalam kitabnya Latha’if alMa’arif dan lainnya. Ada pun
hadits-hadits dha’if hanyalah bisa diamalkan dalam perkara ibadah, jika
ibadah tersebut telah ditetapkan oleh dalil-dalil yang shahih,
sedangkan acara pada malam nishfu sya’ban tidak ada dasar yang shahih,
melainkan ‘ditundukkan’ dengan hadits-hadits dha’if.” (Fatawa al
Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 4/281) Sekian kutipan
dari Syaikh Ibnu Baz.
Larangan Pada Bulan Sya’ban
Pada bulan ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang
berpuasa pada yaumusy syak (hari meragukan), yakni sehari atau dua hari
menjelang Ramadhan. Maksud hari meragukan adalah karena pada hari
tersebut merupakan hari di mana manusia sedang memastikan, apakah sudah
masuk 1 Ramadhan atau belum, apakah saat itu Sya’ban 29 hari atau
digenapkan 30 hari, sehingga berpuasa sunah saat itu amat beresiko,
yakni jika ternyata sudah masuk waktu Ramadhan, ternyata dia sedang
puasa sunah. Tentunya ini menjadi masalah.
Dalilnya, dari ‘Ammar katanya:
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barang siapa yang berpuasa pada yaumus syak, maka dia telah bermaksiat
kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR.
Bukhari, Bab Qaulun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Idza Ra’aytumuhu
fa shuumuu)
Para ulama mengatakan, larangan ini adalah bagi
orang yang mengkhususkan berpuasa pada yaumusy syak saja. Tetapi bagi
orang yang terbiasa berpuasa, misal puasa senin kamis, puasa Nabi Daud,
dan puasa sunah lainnya, lalu dia melakukan itu bertepatan pada yaumusy
syak , maka hal ini tidak dilarang berdasarkan riwayat hadits berikut:
لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ
يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ
ذَلِكَ الْيَوْمَ
“Janganlah salah seorang kalian mendahulukan
Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang
sedang menjalankan puasa kebiasaannya, maka puasalah pada hari itu.”
(HR. Bukhari No. 1815)
4. Bulan Ramadhan dan Keutamaannya
Ini adalah bulan agung yang pling banyak dinantikan oleh seluruh umat
Islam. Banyak keutamaan yang diterangkan dalam Al Quran dan As Sunah
tentang bulan ini. Sebagaian di antaranya:
-Bulan diturunkannya Al Quran
Allah Ta’ala berfirman:
”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil)…” (QS. Al Baqarah (2): 185)
-Bulan Terdapat Lailatul Qadar (malam kemuliaan)
Allah Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan,
dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? malam kemuliaan itu lebih
baik dari seribu bulan. (QS. Al Qadr (97) : 1-3)
- Shalat pada malam Lailatul Qadar menghilangkan dosa-dosa yang lalu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا، غفر له ما تقدم من ذنبه
”Barang siapa yang shalat malam pada malam Lailatul Qadar
karena iman dan ihtisab (mendekatkan diri kepada Allah) , maka akan
diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 35, 38, 1802)
- Shalat malam (tarawih) Pada Bulan Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
”Barang siapa yang shalat malam pada Ramadhan karena iman
dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari No.
37 1904, 1905)
- Berpuasa Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
”Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan
ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No.
38, 1910, 1802)
Makna ‘diampuninya dosa-dosa yang
lalu’ adalah dosa-dosa kecil, sebab dosa-dosa besar –seperti membunuh,
berzina, mabuk, durhaka kepada orang tua, sumpah palsu, dan lainnya-
hanya bias dihilangkan dengan tobat nasuha, yakni dengan menyesali
perbuatan itu, membencinya, dan tidak mengulanginya sama sekali. Hal
ini juga ditegaskan oleh hadits berikut ini.
- Diampuni dosa di antara Ramadhan ke Ramadhan
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الصلوات الخمس. والجمعة إلى الجمعة. ورمضان إلى رمضان. مكفرات ما بينهن. إذا اجتنب الكبائر
“Shalat yang lima waktu, dari jumat ke jumat, dan ramadhan
ke Ramadhan, merupakan penghapus dosa di antara mereka, jika dia
menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim No. 233)
- Dibuka Pintu Surga, Dibuka pinta Rahmat, Ditutup Pintu Neraka, dan Syetan dibelenggu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَان فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِين
”Jika datang Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga,
ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dibelenggu.” (HR. Muslim No. 1079)
Dalam hadits lain:
إذا كان رمضان فتحت أبواب الرحمة، وغلقت أبواب جهنم، وسلسلت الشياطين
”Jika bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu rahmat,
ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dirantai.” (HR. Muslim No. 1079)
Demikianlah keutamaan bulan Ramadhan dan keutamaan ibadah
di dalamnya, yang ditegaskan dalam Al Quran dan hadits-hadits yang
shahih. Sedangkan cerita dari mulut ke mulut, dari khathib ke khathib,
dan dari buku ke buku, bahwa:
- Barang siapa yang berbahagia dengan datangnya Ramadhan maka diharamkan masuk ke neraka.
- Tidurnya orang puasa adalah ibadah (Naumush Shaim ‘Ibadah)
- Sepuluh hari pertama Ramadhan adalah rahmat, yang kedua
adalah maghfirah, dan yang ketiga adalah dijauhkan dari api neraka.
- Keutamaan tarawih malam pertama adalah begini, malam kedua adalah begitu ..dst.
Hadits-hadits ini adalah dhaif (lemah), bahkan ada yang munkar dan
palsu. Dan masih banyak hadits-hadits dhaif seputar Ramadan dan puasa
yang beredar di masyakarat, dan ini hanyalah contoh.
Sedangkan, hadits-hadits yang menyebutkan:
- Bau mulut orang puasa lebih Allah cintai dibanding minyak kesturi
- Barangsiapa yang berpuasa fi sabilillah maka akan dijauhkan wajahnya dari api neraka sejauh 70 tahun perjalanan
- Setiap amal anak adam adalah untuk dirinya, kecuali puasa,
dia adalah untukKU, dan Akulah yang akan membalasnya sendiri
- Disediakan bagi orang puasa pintu surga bernama Ar Rayyan.
Hadits-hadits ini semuanya adalah shahih diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim. Tetapi, hadits-hadits ini tidak bicara tentang puasa
Ramadhan secara khusus, melainkan juga bagi orang berpuasa walau pun di
bulan lain secara umum.
Wallahu A’lam
[1] Sebagian imam ahli tafsir menyebutkan bahwa, hukum berperang pada
bulan-bulan haram adalah dibolehkan, sebab ayat ini telah mansukh
(direvisi) secara hukum oleh ayat: “Perangilah orang-orang musyrik di
mana saja kalian menjumpainya ….”. Sementara, ahli tafsir lainnya
mengatakan, bahwa ayat ini tidak mansukh, sehingga larangan berperang
pada bulan itu tetap berlaku kecuali darurat. Dan, Imam Ibnu Jarir lebih
menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini mansukh (direvisi)
hukumnya. (Jami’ Al Bayan, 9/478-479. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Imam
Ibnu Rajab mengatakan kebolehan berperang pada bulan-bulan haram adalah
pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelaranagn hanya terjadi pada
awal-awal Islam. (Lathaif Al Ma’arif Hal. 116. Mawqi’ Ruh Al Islam)
[2] Kelemahan hadits ini, karena dalam sanad hadits ini terdapat Zaidah bin Abi Ruqad dan Ziyad an Numairi.
Imam Bukhari berkata tentang Zaidah bin Abi Ruqad:
“Munkarul hadits.” (haditsnya munkar) (Imam al Haitsami, Majma’ az
Zawaid, Juz. 2, Hal. 165. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Imam An Nasa’i berkata: “Aku tidak tahu siapa dia.” Imam Adz
Dzahabi sendiri mengatakan: “Dha’if.” Sedangkan tentang Ziyad an
Numairi beliau berkata: “Ziyad dha’if juga.” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul
I’tidal, Juz. 2, Hal. 65)
Imam Abu Daud
berkata: “Aku tidak mengenal haditsnya.” Sementara Imam An Nasa’i dalam
kitabnya yang lain, Adh Dhu’afa, mengatakan: “Munkarul hadits.”
Sedangkan dalam Al Kuna dia berkata: “Tidak bisa dipercaya.”(Imam Ibnu
Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 3, Hal. 263)
Sedangkan tentang Ziyad An Numairi, berkata Imam Al Haitsami tentang
Ziyad an Numairi: “Dia dha’if menurut jumhur (mayoritas ahli hadits).”
(Majma’ az Zawaid, Juz. 10, Hal. 388. Darul Kutub Al Ilmiyah) )
Imam Ibnu Hibban mengatakan bahwa penduduk Bashrah
meriwayatkan dari Ziyad hadits-hadits munkar. Imam Yahya bin Ma’in
meninggalkan hadits-haditsnya, dan tidak menjadikannya sebagai hujjah
(dalil). Imam Yahya bin Ma’in juga berkata tentang dia: “Tidak ada
apa-apanya.” (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Juz. 1, Hal. 306)
Sementara dalam Al Jarh wat Ta’dil, Imam Yahya bin
Ma’in mengatakan: “Dha’if.” (Imam Abu Hatim ar Razi, Al jarh Wat Ta’dil,
Juz. 3, Hal. 536). Demikian
[3] Kitab tasawwuf yang ditulis oleh Syaikh Abu Thalib Muhammad bin Ali bin ‘Athiyah Al Haritsi Al Makki
[4] Kitab tasawwuf yang sangat terkenal yang ditulis oleh Imam Al Ghazali Ath Thusi
[5] Atsar Israiliyat adalah berita atau riwayat yang berasal dari
kisah-kisah orang Bani Israel yang menyusup ke dalam kitab-kitab dan
keyakinan umat Islam. Statusnya, tidak bisa dijadikan hujjah (dalil),
walau memiliki hikmah yang baik. pen.
Penyejuk Hati on Facebook
Rabu, 20 Mei 2015
KEUTAMAAN BULAN RAJAB, SYA'BAN & RAMADHAN bag-2
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar anda