Penyejuk Hati on Facebook

Sabtu, 26 Mei 2012

Semesta Alam dan Ayat-Ayat Al Qur’an

Semesta Alam dan Ayat-Ayat Al Qur’an

Data sementara mengenai luasnya alam semesta, adalah sebagai berikut :

- BUMI merupakan planet ke-3 dari susunan planet yang mengelilingi BINTANG yang bernama MATAHARI
- Matahari adalah 1 dari sekitar 200 milyar bintang yang bergerak berputar bersama mengelilingi inti galaksi Milkyway/ Bima sakti. Jumlah galaksi-besar (large galaxi) ada 350 Milyar, dan galaksi kecil (dwarf galaxies) ada 7 trilliun buah
- Galaksi Bimasakti bagian dari kumpulan galaksi lain membentuk gugusan galaksi, diprediksi ada 25 Milyar gugusan
- Gugusan galaksi berkumpul membentuk super cluster, diprediksi ada 10 Juta super cluster

Bintang-bintang (serupa matahari, yang memiliki sumber cahaya sendiri, dengan ukuran yang lebih besar atau lebih kecil dari matahari ) pada seluruh langit dan dibumi yang terlihat, diprediksi sekitar 30 milyar trilliun (3×10²²) buah.

Keluasan alam semesta diprediksi berdiameter 14.5 Milyar tahun cahaya, dimana 1 tahun cahaya (ly : light year) = 9.46 x 10^12 km (sedikit di bawah 10 trilyun kilometer).

Adakah makhluk diluar sana?

Syaikh Muhammad al-Ghazali di dalam bukunya, berpendapat bahwa bumi yang kita diami ini tidaklah lebih dari sebutir debu di alam semesta yang amat besar.

Alam ini bagi al-Ghazali sudah penuh sesak dengan makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah yang merujuk pada wujud-Nya dan bersaksi tentang kebesaran-Nya.

Kitab suci al-Qur’an memang tidak bercerita secara jelas (didalam ayat-ayat Muhkamatnya) kepada kita, mengenai keberadaan makhluk hidup diluar manusia, berikut planet dimana mereka tinggal.

Tetapi hal ini tidak berarti bahwa secara simbolik (melalui ayat-ayat Mutasyabihatnya) al-Qur’an juga menolak keabsahan teori-teori keberadaan mereka (penghuni langit), sebab sebaliknya justru al-Qur’an menggambarkan kekuasaanNYA di semua alam semesta yang melingkupi seluruh makhluk hidup yang ada dan tersebar disemua penjuru galaksi.

Dan diantara ayat-ayat-Nya adalah menciptakan langit dan bumi ; dan Dabbah yang Dia sebarkan pada keduanya. dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya. (QS. Asy-Syura (42) ayat 29).

Dan Allah telah menciptakan Dabbah dari almaa’; diantara mereka ada yang berjalan diatas perutnya dan ada juga yang berjalan dengan dua kaki dan sebagiannya lagi berjalan atas empat kaki. Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki, karena sesungguhnya Allah berkuasa atas tiap-tiap sesuatu.. (QS. An-Nur (24) ayat 45)

Melalui surah asy-syura ayat 29 diatas kita memperoleh gambaran dari al-Qur’an bahwa Allah telah menyebarkan dabbah disemua langit dan bumi yang telah diciptakan-Nya.

Pengertian dari istilah Dabbah ini sendiri bisa kita lihat pada surah an-Nur (24) ayat 45, yaitu makhluk hidup yang memiliki cara berjalan berbeda-beda, ada yang merayap seperti hewan melata ada yang berjalan dengan dua kaki sebagaimana halnya dengan manusia, dan ada pula yang berjalan dengan empat kaki seperti kuda, anjing, kucing dan seterusnya.

Sehingga merujuk istilah Dabbah yang ada dilangit dengan makhluk berjenis Jin atau Malaikat saja, serta mengabaikan kemungkinan adanya makhluk jenis lain berarti bertentangan dengan maksud Kitab Suci itu sendiri.

Keberadaan planet-planet yang berfungsi sebagai tempat hidup dan berkehidupan makhluk berjiwa seperti bumi misalnya secara eksplisit bisa juga kita peroleh didalam ayat al-Qur’an :

Allah menciptakan tujuh langit dan seperti itu juga bumi; berlaku hukum-hukum Allah didalamnya, agar kamu ketahui bahwa Allah sangat berkuasa terhadap segala sesuatu; dan Allah sungguh meliputi segalanya dengan pengetahuan-Nya. (QS. Ath-Thalaq (65) ayat 12)
Jika kata langit dan bumi disebut dengan bilangan tujuh yang berarti banyak (lebih dari satu), maka tentu yang dimaksud dalam ayat ini adalah kemajemukan gugusan galaksi yang terdiri dari jutaan bintang dan planet-planet yang ada sebagaimana yang kita ketahui dari ilmu astronomi modern. Oleh karenanya secara tidak langsung al-Qur’an menyatakan kepada kita bahwa Bumi yang kita diami ini bukanlah satu-satunya bumi yang ada di jagad raya.

Apa yang ada dilangit dan dibumi memerlukan Dia, setiap waktu Dia dalam kesibukan. (QS. Ar-Rahman (55) ayat 29)

Cerdas dan berakalkah makhluk luar angkasa (Alien) itu ?

Pertanyaan ini spekulasi, karena kita tidak atau belum pernah bertemu dengan satupun mahluk berakal angkasa luar. Jadi, karena tidak pernah bertemu, maka kemungkinan jawabannya bisa tidak bisa ada.

Lalu bagaimana peran manusia di alam semesta ini?. Apakah Al Qur’an menjelaskan atau setidaknya menerangkan keberadaan mahluk berakal, selain yang ada di bumi yang kita tinggali ini?.

Berdasarkan Teori Kemungkinan. Ada sejumlah bintang yang sangat-sangat banyak di luar galaksi kita. Yang bisa dideteksi saja mencapai 70 ribu juta-juta. Jadi, kemungkinan 0,000.000.01% (sepermilyar persen) saja asumsi ini dibangun, masih akan ditemukan sekian-sekian kemungkinan adanya mahluk berakal selain kita. (Statistik cenderung akan mengatakan kemungkinan itu ada. Jadi, bisa diambil kesimpulan kemungkinan itu ada.)


Berdasarkan logika saja.

Alam ini begitu luasnya, sangat jauh lebih luas dari perkiraan-perkiraan manusia.

Awalnya manusia berpikir bahwa, bumi itu datar. Peradaban berkembang, manusia menduga bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Kemudian, kini manusia paham bahwa manusia tinggal di bumi yang ada di satu galaksi saja di antara jutaan galaksi di alam semesta.

Kemudian manusia mengerti bahwa kita ternyata tinggal hanya di salah satu sisi galaksi di tepi alam semesta yang terus meluas dengan kecepatan tinggi di mana jarak satu titik dengan titik galaksi lainnya saling menjauh seperti titik-titik permukaan balon yang ditiup mengembang.

Kalaupun ada mahluk berakal di tempat lain di sisi alam semesta lainnya, jaraknya semakin jauh. Untuk bisa menembusnya, diperlukan pengetahuan dan teknologi yang harus sangat maju.

Ilmuwan berpikir bahwa ada cara untuk menembusnya, baik melalui stargate, teleportasi, lubang cacing (worm hole), dan lain sebagainya. Paling tidak film-film fiksi sains memvisualisasikan kemungkinan ini.

Kecerdasan Makhluk di luar bumi

Setidaknya ada 2 pandangan :

(Pandangan I)
Fahmi Basya (Dosen UIN Jakarta) yang terkenal dengan pelatihan spiritual dan matematika Al Qur’annya menjelaskan (dan tampaknya beliau percaya) bahwa mahluk di luar bumi itu ada. Soal cerdas atau tidak, tampaknya beliau percaya juga, bahwa mahluk luar bumi itu memiliki kecerdasan. Ayat yang mendukungnya adalah QS. At Thaalaq (65) ayat 12, yang berbunyi :

* Allah Yang menciptakan tujuh langit dan sebagian bumi seperti mereka, Dia turunkan perintah antara keduanya, agar kamu ketahui bahwa Allah atas tiap sesuatu Berkuasa, dan sesungguhnya Allah sungguh meliputi karakter tiap sesuatu dengan Ilmu (Versi Fahmi Basya)
* Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (Versi Depag)
* Allah is He Who created seven heavens, and of the earth the like of them; the decree continues to descend among them, that you may know that Allah has power over all things and that Allah indeed encompasses all things in (His) knowledge. (http://etext.virginia.edu/)
* GOD created seven universes and the same number of earths. The commands flow among them. This is to let you know that GOD is Omnipotent, and that GOD is fully aware of all things. (http://www.submission.org/suras/sura65.html)

(Pandangan II)
Sebaliknya yang meyakini makhluk itu ada tetapi tidak berakal atau lebih rendah tingkatan dari manusia adalah berdasarkan ayat berikut:

Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, sebagai rahmat dari padaNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. (QS. Al Jaatsiyah (45) ayat 13)

Dengan ayat ini cukup jelas bahwa manusia adalah makhluk yang berkuasa atas segala sesuatu di langit dan di bumi secara merata. Ini dapat diartikan bahwa, kita adalah satu-satunya makhluk yang berakal di bumi maupun di langit.

WaLlahu a’lamu bishshawab

Sumber :

The Universe within 14 billion Light Years
The Visible Universe

http://www.atlasoftheuniverse.com/universe.html
Adakah Mahluk Berakal di Luar Bumi? -2
http://agorsiloku.wordpress.com/2007…i-luar-bumi-2/
apa benar sih zona Photon tahun 2011-2012
http://myquran.org/forum/index.php?topic=44665.0
Antara Superman, Aliens dan Al-Qur’an
http://arsiparmansyah.wordpress.com/…-dan-al-quran/
Adakah Makhluk Luar Angkasa itu
http://nizmaanakku.blogspot.com/2007…gkasa-itu.html
Petunjuk Al-Qur’an Tentang Makhluk Berakal
di Luar Planet Bumi
http://pengajianbremen.wordpress.com/2012/02/17/petunjuk-al-quran-tentang-makhluk-berakal-di-luar-planet-bumi/
Mencari Penghuni Langit (Grup Facebook)
http://id-id.facebook.com/groups/343170502375847


Misteri Uwais, manusia langit dari Yaman

Misteri Uwais, manusia langit dari Yaman

Rasulullah pernah mengisyaratkan, tentang keberadaan sesosok manusiaPenghuni Langit”, yang bernama Uways (Uwais) Al Qorni.

Rasulullah SAW bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qorni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau, memandang kepada Ali bin Abi Thalib r.a. dan Umar bin Khattab r.a. lalu bersabda : “Suatu saat apabila kalian bertemu dengan dia mintalah do’a dan istighfarnya, karena dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi

Uwais adalah seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, dengan kulitnya kemerah-merahan. Pemuda dari Yaman ini tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan menderita lumpuh. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing.

Mayoritas Ulama berpendapat, istilah “Penghuni Langit” yang disandang oleh Uwais, dikarenakan baktinya yang sangat luar biasa kepada ibunya.

Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah dan akhirnya bertemu dengan Umar ra dan Ali bin abi Thalib. Saat itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya.

Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi”.

Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah meninggal dunia. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang tak dikenal yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya.

Demikian pula ketika masyarakat pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.

Dan Abdullah bin Salamah menjelaskan, “ketika itu aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya. Lalu aku bermaksud kembali ke tempat penguburannya untuk memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat lagi adanya bekas kuburannya”. (Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang dalam satu pasukan, bersama Uwais al-Qorni di masa pemerintahan Umar Ibnu Khattab r.a.).

Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang.

Manusia “Penghuni Langit” = Alien dari Planet Nibiru ?

Entah kebetulan atau tidak, ciri-ciri fisik Uways sangat mirip dengan ras Kaukasia, yang oleh beberapa kalangan dikatakan mewarisi ciri fisik bangsa Anunnaki, Alien dari Planet Nibiru.

Menurut kalangan UFOLOGI, Anunnaki terdiri dari tiga ras alien, yaitu Saurian atau Reptoid (bangsa Reptil bertubuh manusia raksasa), Agharian atau Nordic (bangsa yang mirip dengan manusia Kaukasian), dan Zeta (jenis alien Grey) yang tinggal di wilayah bintang Zeta Reticula.

Meskipun Islam, tidak menolak kemungkinan adanya makhluk lain, di luar bumi. Namun tidak serta merta kita menyatakan, Uways sesungguhnya Alien, yang nyasar di bumi ini.

Benarkah Planet Nibiru, yang dihuni bangsa Anunnaki itu ada? Atau hanya cerita dongeng dari Bangsa Sumeria? Jika Uways adalah Alien, bagaimana ia bisa sampai ke Yaman? Apakah ia datang melalui pintu Wormhole?

Ke-shahihan kisah Uways Al Qorni, juga harus diteliti lagi. Hal tersebut, dalam upaya untuk menghindari cerita-cerita dongeng bangsa Sumeria kuno, masuk ke dalam khasanah keilmuan umat muslim.

Andaikan semua kisah tentang Uways adalah sebuah fakta, penjelasan yang paling logis saat ini adalah, Uways Al Qorni adalah seorang keturunan bangsa Kaukasia, yang tinggal di negeri Yaman. Baktinya terhadap Sang Bunda, telah memberi kemuliaan kepada dirinya, digelari “Penghuni Langit” oleh Rasulullah.

WaLlahu a’lamu bishshawab

Sabtu, 19 Mei 2012

Gadis Berhijab Dengan Jilbab


Sembari waktu berjalan, pada kurun waktu sebelum sang jungjungan dilahirkan keindahan jilbab sudah merangkai sejarah bumi.bahkan jilbabpun tiba-tiba menjunjung tinggi menjadi inspirasi para bidadari dilangit.. hingga kini jilbab mesih terus berputar pada kehormatan perempuan, aku terkesima. dan inilah kisah jilbab aku coba memaparkan pada kalian yang berjiwa suci

(Dia berjalan, menyusuri trotoar jalanan panas kota jakarta.
sesekali matanya yang tertutup kain putih di sekahnya dengan lentik tanganya yang mungil).

Tuhan,
Gadis berhijab dengan jilbab,
hatiku tergerai oleh keindahannya.
pada jilbab itu seakan ada wajah surga yang maha indah,
pada jilbab itu seakan ada wajah kerinduan yang disembunyikan
Tuhan,
Benar kata-Mu.
Jilbab yang Kau nisbatkan sebagai penutup aurat pada bulan-bulan
adalah kebenaran hingga aku tak mungkin untuk tidak mengakuinya.

Tuhan,
Di tengah terik matahari jalanan kota besar ini
engkau pertemukan aku dengan keindahan itu
Tuhan,
Sekarang idzinkan aku mengabarkan pada mereka
yang lahir sebagai hawa
bahwa jilbab bukan sekedar penutup semata.
semoga mereka tergugah…….

***

Setelah malam tiba, dan sayup suara angin berbaur dengan nafas hangat
para istirah, saat itulah seperti kilau cahaya kerlap kerlip melipat malam
kulihat seribu hijab menuju ke langit arsy

Kembali aku terpesona, aku rasakan tangan tangan halus nan mungil mengusap-ngusap keningku sembari berucap dengan bahasanya yang begitu merdunya,
dan bahkan mengalahkan kemerduan suling daud yang abadi. :

“Tuhan telah memanggil kami,
Tuhan telah memanggil kami,
tidakkah kau tergerak untuk
memintanya supaya kami diidzinkan menemanimu.
Ataukah kau tak lihat
betapa masih sucinya kami,
dengan perantara hijab yang telah diwajibkan pada kami kaum wanita”

kembali untuk yang kesekian aku terpana.
Dia, dia itu gadis yang tadi sore dengan
segalah keindahannya menutup mahkotanya dengan serai jilbab paripurnah.

Tuhan….
Andai aku boleh bertanya, biarlah aku bertanya tentang
apa yang kusaksikan, setidaknya untuk malam ini

Tuhan,
Di tengah hiruk pikuk panasnya dunia ini, atau
diantara rusaknya dunia ini, masih adakah wanita seindah dia,
benarkah ini bukan sekedar mimpi maupun fatamurgana?

Ah, Tuhan! betapa sulitnya kami mencari wanita khatijah
wanita dengan kesabaran dan kesetiaan Fatimah yang Kau mulyakan
wanita Sulaikha yang mengakui kekhilafannya karena rasa cintanya terhadap-Mu

Wanita Berhijab dengan Jilbab itu
mungkinkah menggunakannya hanya sekedar mengikuti
derasnya zaman yang telah beruba.

Wqnitq berhijab dengan jilbab itu,
jika ia masih ada saat ini, berilah kekuatan
ridha dan rahmat-Mu….

dan mereka yang kini liar dengan keindahan dunia ini
aku mohon dengan sangat, bisikkan di hatinya
bahwa jilbab itu adalah keindahannya.

Wanita berhijab dengan jilbab itu,
andai semua seperti wanita sore itu
betapa damainya dunia ini.

Wanita yang berhijab dengan jilbab
BERBANGGALAH KALIAN SEBAB KALIAN SEINDAH INDAHNYA PERHIASAN
wanita yang menarik dari bulan itu,
berilah rahmat-Mu, sampai ia kembali
menjadi jelmaan bidadari
Tuhan….aku mohon dengan sangat

(cerita percakapan anak kecil dengan para malaikat kepada bundanya )

…..dan para malaikat-pun merindukanmu hai kalian para perempuan yang berhijab dengan jilbab…..

Di tengah pematang sawa seribu mata burung mengintip senja
kulihat dengan kaki telanjang perempuan itu bermain dengan ilalang
pada matanya tersirat keluguan,
di dekatnya anak kecil meremas kain sutra penutup kepala mungilnya.
“bunda, aku ingin melihat malaikat?”
Sejenak perempuan berwajah langsat itu memandang lekat matanya seraya berkata:
“Nak, baru kemaren sekitar dua tahun yang silam, sebelum kau keluar dari rahim bunda,
malaikat-malaikat selalu bersamamu, menemanimu kemanapun kau pergi. masihkah kau ingat peristiwa itu?”
“Ya bunda, para malaikat itu pernah bilang kepadaku, maukah bunda mendengar percakapanku dengannya, hingga aku mengerti apa maksudnya dia berkata begitu kepadaku?”
“Ceritalah nak, bunda setia mendengar ceritamu”
****
Bunda, saat itu malam sudah mendekati fajar, udara dingin telah mensuk hampir kesemua bulu pori kulitku, aku terharu saat tiba-tiba salah satu dari malaikat penjagaku menyematkan selindang sutra ke pangkuanku, dan ia memberiku isyarat supaya aku menggunakannya.
Ah bunda, saat itu apalah dayaku, tanganku yang kecil tak mampu memasangnya dengan sempurnah, lalu dengan penuh kasih yang tak terkira, tangan-tangan indah malaikat sahabatku itupun memakaikannya ke altar kepalaku. kemudian dia berkata; Kau tahu anakku, bahwa kehormatanmu adalah auratmu, kehormatanmu adalah keindahan rambutmu yang semilir ombak sagara. kelak kalau kau sudah tidak bersama kami, mintalah pada bundamu, supaya ia selalu menutupi keindahan kehormatanmu dengan hijab surga ini.
Bunda, hatiku bangga, taukah saat pertama aku bertemu dengan bunda, saat itu aku menangis bukan lantaran cengengku bertemu dengan dunia, melainkan tangis oleh rasa haru lantaran melihat bunda begitu indah memakai hijab dari surga itu.
Bunda, sekarang aku tidak takut lagi pada kerasnya dunia dan kemunafikan yang berserak di sana,
aku sudah menutup keindahanku dengan hijab dari surga, ah bunda, tahukah bunda, tiap malam para malaikat itu selalu membisiku bahwa surga dan para penghuninya menitip salam padaku, betapa mereka merindukan kedatanganku dengan jilbab diantara tubuhku ini…..
***
Nak, kelak bila aku yang berangkat duluan menghadapnya, bunda akan kabarkan pada mereka penghuni surga dan para malaikat sahabatmu itu, bahwa engkau masih tetap bersahaja dengan hikabmu……dan teruslah berhijab dengan jilbabmu, keindahanmu adalah jiwa surga yang diimpikan.

AKHIRNYA…..

(Dan aku tak mampu mengeja namaku sendiri,sebagaimana keraguanku menyingkap nasib dlm setiap hurufnya apabila tertera utuh.aku kwatir ampunan yg kurindukan .yg ada cibiran bukan senyum bunga desaku tp kilatan halilintar seperti kisahku pd hujan badai yg menghentak.seolah tak bertepi .senyummu hai gadis berpesona dengan jilbab yg senantiasa mengembang agar tdk hanya menj2di sebuah cerita.meski tak sempat kunikmati keìndahanya,paling tdk slalu menghiasì senyummu yg dulu mengembang slalu. Akulah yang selalu merindukan keindahanmu selama jilbabmu masih mengalung diantara kepala dan lehermu hai wanita)

Biarkanlah Isyarah Terjawab Di balik Tabir Rahasia Mu


Seribu warna kerlap- kerlip kehidupan m3mberi arti. Ku ingin melambaikan akan setitik kasih sayang ku untuk-Mu,, namun biarkan ku terbang untuk menuju surga-Mu. aku takut terjatuh, dan tidak bisa bangun lagi, ada apakah gerangan????.
Kisah ku yang tersurat dan tersirat bergelumun dalam selimut., ku hanyutkan duka ku pada sungai kecil yang mengalir, kecemburuan ku terhelai dalam sajak nya. Ku dekat dngn nya krn-Mu. Ku mencintai ny krn-Mu.
Air mata kasih sayang ku ingn seperti imam ali n Fatimah az zahrah pengikut keluarga nabi Mu,. Diri nya yang jauh dari pelupuk mata ku terangkai akan sosok diri nya, cerminan hati ku memberikan 1 pertanda untk nya,,,, aku terus menunggu dan menjaga kesucian dan kehormatan ku untk nya.. di balik celah2 dia mengintip gerak- gerik di sudut gelap ku… ku berserah diri pd-Mu ya Rabb… Engkaulah yg Mh mengatur segalaNya,, biarkan lah ayat2 cinta ku yg berbicara,, ku bertasbih dlm cinta ku, dan akan ku tunggu isyarah itu terjawab di balik tabir rahasia-Mu dalam sujud panjang ku.
sajadah yg membentang ikut turut sedih atas kerinduan ku,,, ketika di keheningn malam ku shalat menghadap-Mu,,,, tnjuk kan aku akan jalan-Mu. Jaga dia, lindungi dia, dan jangn biarkan dia lalai dari-Mu.
I LOVE ALLAH S.W.TFOREVER

Jilbab Sebuah Sistem Nilai dan Gaya Hidup Muslimah


Tak syak, masa kini disebut sebagai era kebebasan seksual. Manusia modern menganggap ketelanjangan perempuan merupakan bagian dari kebebasannya. Oleh karenanya, membahas masalah jilbab oleh sebagian kelompok dianggap sebagai pembicaraan yang ada hubungannya dengan masa lalu.
Namun realitanya, kebebasan tanpa batas ini justru menciptakan kekacauan dan kerusakan. Tidak ada pilihan lain, kecuali membicarakan masalah jilbab. Membicarakan jilbab atau jilbab membutuhkan lingkungan yang lebih Islami dan Republik Islam Iran sebagai negara Islam telah membahas masalah ini dengan baik dan meyakinkan.
Tapi masalahnya, urgensi masalah ini menuntutnya dibahas secara lebih luas. Imam Khomeini ra pernah berkata, "Hukum asli jilbab merupakan satu dari ajaran prinsip Islam. Orang yang mengingkarinya berarti mengingkari prinsip Islam. Sementara orang yang mengingkari prinsip Islam maka dihukumi kafir, kecuali bila dipastikan ia tidak mengingkari Allah dan Rasul Saw"
Karbala, Tempat Pertama Dimulainya Upaya Menghapus Jilbab
Yazid bin Muawiyah berperan besar dalam upaya menghancurkan Islam dan menzalimi umat Islam. Salah satu upayanya dalam menghancurkan Islam adalah menghapus jilbab di hari Asyura pasca kesyahidan Imam Husein as dan para sahabatnya. Tapi upaya itu berhasil digagalkan oleh Imam Sajad as dan Sayidah Zainab as melalui ucapan mereka, terutama khotbah Sayidah Zainab sa di tengah majlis Yazid yang secara terang-terang menyanggah Yazid. Beliau berkata, "Engkau telah mencabik-cabik tirai jilbab para perempuan Ahlul Bait dan mempertontonkan wajah mereka..."
Padahal saat itu para perempuan Ahlul Bait sangat menjaga jilbabnya. Mereka berusaha sebisa mungkin untuk untuk menutup wajahnya. Bani Umayah telah melakukan penghinaan terhadap perempuan Muslim dan dicatat oleh sejarah.
Urgensi Jilbab
Mencermati kembali ucapan Imam Khomeini ra tentang hukum jilbab, maka dengan mudah dapat dipahami pentingnya masalah ini. Jilbab dalam Islam dipandang sebagai masalah prinsip dan barang siapa yang mengingkarinya berarti dianggap kafir, kecuali dipastikan ia tidak mengingkari Allah dan Rasulullah Saw.
Dengan demikian, hukum jilbab itu sendiri sudah jelas dan yang menjadi pembahasan selanjutnya terkait dengan batasan jilbab itu sendiri. Sejauh mana al-Quran menetapkan batasan jilbab seorang Muslimah. Mengenai batasan jilbab yang menutupi seluruh badan perempuan, kecuali wajah dan telapak tangan ternyata juga disepakati oleh seluruh ulama. Jadi, tidak ada yang meragukan bahwa konsep jilbab dalam Islam adalah menutup seluruh badan, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
Pengertian Jilbab
Kata hijab yang pada zaman ini digunakan sebagai sebutan untuk penutup wanita, secara tekstual selain memiliki arti baju atau pakaian juga bermakna tirai. Penggunaan kata hijab sebagai penutup wanita merupakan istilah yang masih baru. Sedangkan pada zaman dahulu dan dalam istilah fiqih dipakai kata satr yang berarti penutup. Sebaiknya memang sebaiknya kata tersebut tidak digantikan dengan Hijab karena pada umumnya hijab dimaknai sebagai tirai, dimana kata ini memosisikan perempuan di belakang tirai.
Penggunaan kata hijab inilah yang menyebabkan banyak orang mengira bahwa Islam menginginkan perempuan untuk selalu berada di belakang tirai, memenjarakannya serta tidak mengizinkannya untuk keluar dari rumah. Padahal fungsi hijab yang diwajibkan Islam justru bertentangan dengan pemahaman salah itu. Islam memerintahkan perempuan berjilbab agar dapat melakukan kegiatan sosialnya dengan leluasa dan aman. Jilbab menjadi alasan utama perempuan Muslim dapat melakukan aktivitas sosialnya, tanpa mempertontonkan tubuhnya di hadapan kaum pria. (Tambahan, pembahasan ini lebih banyak dikaji di Iran, tapi di Indonesia ketika istilah yang dipakai adalah jilbab, maka tidak ada pembahasan yang seperti ini)
Gambaran Hakiki Mengenai Jilbab
Hakikat perkara jilbab bukanlah tentang persoalan apakah sebaiknya perempuan yang hadir di tengah masyarakat berjilbab atau tidak. Akan tetapi jilbab dalam Islam merupakan sebuah sistem nilai dan sosial masyarakat Muslim. Dengan jilbab, masalah-masalah yang terkait dengan kebutuhan biologis hanya diterapkan di lingkungan rumah tangga dan dalam kerangka pernikahan yang sah. Sementara lingkungan sosial dan tempat kerja murni untuk beraktivitas, sehingga hasil yang dicapai juga lebih maksimal.
Filsafat jilbab sendirinya dapat dijelaskan dalam pelbagai dimensi; spiritual, keluarga, masyarakat dan kehormatan seorang Muslimah itu sendiri.
Jilbab memang bukan diciptakan oleh Islam, tapi dalam masyarakat sebelum Islam jilbab telah dikenal sebagai pakaian penutup bagi perempuan. Tapi Islam sebagai satu sistem nilai memoles jilbab dan menyempurnakannya dengan nilai keislaman, baik dari sisi batasannya dan juga filosofinya.
Jilbab tidak menafikan kesenangan manusia, tapi pada saat yang sama juga bukan pendukung gaya hidup kerahiban. Jilbab adalah salah satu metode Islam untuk mencegah rusaknya masyarakat. Karena dampak dari kerusakan ini tidak hanya menimpa diri, tapi akan merembet kepada keluarga, masyarakat bahkan satu bangsa.
Tentu saja banyak cara yang dipergunakan oleh Islam untuk mencegah kerusakan sebuah masyarakat. Namun jilbab merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah kerusakan masyarakat. Jilbab menjadi simbol hubungan sosial sebuah masyarakat Islam dan bukan hanya sekadar aturan berpakaian. Jilbab menjadi jembatan hubungan sosial antara seorang Muslim dan Muslimah. Berarti, jilbab merupakan sebuah gaya hidup seorang muslim di tengah masyarakat Islam.
Ketika kita melihat jilbab sebagai gaya hidup dan sistem nilai sebuah masyarakat Islam, maka sistem nilai ini akan berdampak besar sosial dan ekonomi masyarakat Islam. Satu hal yang tidak diinginkan oleh kekuatan-kekuatan besar dunia. Karena mereka juga menawarkan gaya hidup sesuai dengan ideologinya.
Bila mereka melihat perempuan sebagai produk atau alat untuk menjual produknya, Islam meletakkan posisi perempuan yang tinggi sebagai manusia yang dapat mencapai kesempurnaan sama seperti yang berhasil diraih oleh kaum pria. Dampak dari cara pandang ini, mereka justru menyebarkan budaya ketelanjangan perempuan agar dapat merealisasikan tujuannya. Sebaliknya, Islam justru memberi pakaian kehormatan kepada perempuan agar mereka dapat melakukan aktivitas dan berinteraksi dengan masyarakat dan menjadi dirinya sendiri sesuai yang diajarkan Islam.
Dengan demikian, jilbab pada dasarnya menjadi medan pertempuran sistem nilai antara Islam dan non Islam, bukan hanya sekadar perbedaan budaya dalam berpakaian. (IRIB Indonesia)

Jumat, 18 Mei 2012

KH. RIDHWAN ABDULLAH

KH. RIDHWAN ABDULLAH: PENCIPTA LAMBANG NAHDHATUL ULAMA (NU)

Di antara ulama pondok pesantren, ada seorang ulama yang memiliki keahlian melukis. Beliau adalah KH. Ridhwan Abdullah (selanjutnya dibaca Kyai Ridhwan Abdullah). Banyak jasa beliau di bumi Indonesia terutama di kalangan Jam’iyah Nahdhatul Ulama. Dalam kancah ulama NU, beliau dikenal sebagai pencipta lambang NU.

Secara kebetulan, sehari sebelum Muktamar digelar, Kyai Ridhwan Abdullah mendapatkan petunjuk lewat mimpi seusai melaksanakan shalat Istikharah. Dalam mimpi itu muncul gambar bola dunia yang dilingkupi tali dan sembilan bintang. Keesokan harinya petunjuk itupun digambar oleh Kyai Ridhwan Abdullah di atas selembar kain dan ditambahi tulisan arab Nahdhatul Ulama sebagai hasil kreasinya. Setelah jadi, gambar tersebut disodorkan kepada para Kyai dan serentak mereka menyetujui. Maka jadilah lambang NU seperti yang kita kenal dan kita lihat sekarang ini.

MASA KANAK-KANAK

Sang Pencipta Lambang Nahdhatul Ulama yang elegan itu adalah anak sulung dari enam bersaudara dari pasangan Kyai Abdullah dan Nyai Marfu’ah, lahir di kampung Carikan Gang I, Praban, Kelurahan Alun-alun Contong, Kecamatan Bubutan, Surabaya, pada tahun 1884.

Pendidikan dasarnya diperoleh di sekolah Belanda. Agaknya di situlah, dia mendapatkan pengetahuan teknik dasar menggambar dan melukis. Dia tergolong murid yang pintar, sehingga ada orang Belanda yang ingin mengadopsinya. Belum selesai sekolah di situ, orangtuanya kemudian mengirimnya ke Pesantren Buntet di Cirebon. Ayah Kyai Ridhwan, Abdullah, memang berasal dari Cirebon, Ridwan adalah anak bungsu.

Setelah lulus dari sekolah setingkat Sekolah Dasar, beliau mondok di sejumlah pesantren, di antara salah satunya adalah di pesantren Syeikh Kholil Bangkalan. Beliau ikut ndalem Syeikh Kholil, membantu urusan rumah tangga Syeikh Kholil, seperti bersih-bersih rumah, mencuci pakaian dan mengasuh putera Syeikh Kholil dan lain-lain. Setelah lama nyantri di pesantren Syeikh Kholil dan membantu urusan rumah tangganya, suatu ketika Syeikh Kholil berteriak:

“Maling, maling….! Sambil menuding ke arah Kyai Ridhwan Abdullah.

Serentak saja ia lari pontang panting demi menghindari amukan para santri yang membawa alat pukul sekenanya. Untung Kyai Ridhwan Abdullah berhasil lolos, sehingga tidak babak belur diamuk para santri.

Sampai di rumah diceritakanlah apa yang terjadi kepada orang tuanya yang terkejut melihat penampilan anaknya yang dekil dan lusuh. Mendengar itu, ayahnya pergi ke Bangkalan guna melakukan klarifikasi. Alangkah kagetnya Kyai Abdullah (ayah Kyai Ridhwan), sebelum satu patah kata pun diucapkan, Syeikh Kholil Bangkalan sudah berkata terlebih dahulu:
Anakmu itu nakalan, wong sudah pinter, sudah banyak menguasai ilmuku, kok masih betah di sini, kalau tidak pakai cara itu, dia tidak akan mau pulang” Jelas Waliyullah itu. Subhanallah ...

Setelah itu Kyai Ridhwan Abdullah meneruskan belajarnya di Tanah Suci. Bahkan sempat dua kali, pertama dari tahun 1901 sampai tahun 1904, dan yang kedua dari tahun 1911 sampai tahun 1912. Maka mulai dari tahun 1912 inilah, beliau pulang ke Tanah Air dan menetap di Surabaya.

TENTANG BELIAU
Kyai Ridhwan Abdullah dikenal sebagai Kyai yang dermawan. Setiap anak yang berangkat mondok dan sowan ke rumah beliau, selain diberi nasihat juga diberi uang, padahal beliau sendiri tidak tergolong orang kaya.

Di kalangan ulama pondok pesantren, Kyai Ridhwan Abdullah dikenal sebagai ulama yang memiliki ilmu pengetahuan agama dan pengalaman yang luas. Pergaulan beliau sangat luas dan tidak hanya terbatas di kalangan pondok pesantren.

Di samping itu, beliau dikenal sebagai ulama yang memiliki keahlian khusus di bidang seni lukis dan seni kaligrafi. Salah satu karya beliau adalah bangunan Masjid Kemayoran Surabaya. Masjid dengan pola arsitektur yang khas ini adalah hasil rancangan Kyai Ridhwan Abdullah.

Sebagai Kyai, Ridhwan Abdullah lebih banyak bergerak di dalam kota. Dalam beberapa hal, dia tidak sependapat dengan Kyai yang tinggal di pedesaan. Misalnya, sementara Kyai di pedesaan mengharamkan kepiting, ia justru menghalalkannya.

Ia dapat dikategorikan sebagai Kyai inteletual. Pergaulannya dengan tokoh nasionalis seperti Bung Karno, Dr. Sutomo, dan H.O.S Tjokroaminoto cukup erat. Apalagi, tempat tinggal mereka tidak berjauhan dengan rumahnya, di Bubutan Gang IV/20.

Kyai Ridhwan Abdullah dikenal sebagai Kyai yang low profile, baik dalam bermasyarakat maupun dalam berorganisasi, bersahaja dan sederhana. Meskipun di rumah mertuanya tersedia beberapa kereta kuda bahkan ada juga sepeda motor, untuk keluar rumah, Kyai Ridhwan Abdullah lebih memilih berjalan kaki dengan kitab salaf di tangan kanan dan payung hitam di tangan kirinya. Biasanya, di belakangnya ikut satu dua anak kecil yang dengan setia mengikutinya, baik sekedar untuk bermain hingga menghadiri pengajian yang dipimpinnya. Nampaknya, gemerlap harta tidak membuat Kyai Ridhwan Abdullah terlena (bahkan di kemudian hari, beliau rela menjual beberapa tokonya demi NU). Hari-hari beliau disibukkan dengan hal-hal ukhrawi. Hampir tiap malam beliau mengisi pengajian dari mushalla atau masjid satu ke lainnya, masuk keluar kampung.

Semasa hidupnya Kyai Ridhwan Abdullah sempat menikah dua kali. Dari pernikahan pertama lahir KH. Mahfudz, KH. Dahlan (keduanya anggota TNI) dan Afifah. Setelah sang istri wafat, beliau menikah lagi hingga lahir juga tiga anak, yaitu KH. Mujib Ridhwan, KH. Abdullah Ridhwan dan Munib.

Beliau adalah salah satu motor penggerak lahirnya Nahdhatul Ulama, selain Kyai Wahab Chasbullah dan Mas Alwi. Kyai Wahab Chasbullah dengan gagasan-gagasan cemerlangnya, Mas Alwi dengan usulan namanya dan Kyai Ridhwan Abdullah dengan desine lambangnya.

PERJUANGAN BELIAU
Kyai Ridhwan Abdullah tidak memiliki pondok pesantren. Tetapi beliau dikenal sebagai guru agama, muballigh yang tidak kenal lelah. Beliau diberi gelar Kyai Keliling’. Maksudnya Kyai yang menjalankan kewajiban mengajar dan berdakwah dengan keliling dari satu tempat ke tempat yang lainnya.

Biasanya, Kyai Ridhwan Abdullah mengajar dan berdakwah pada malam hari. Tempatnya berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lainnya dan dari satu surau ke surau yang lain. Daerah-daerah yang secara rutin menjadi tempat beliau mengajar adalah kampung Kawatan, Tembok dan Sawahan.

Sebelum Nahdhatul Ulama (NU) berdiri, Kyai Ridhwan Abdullah mengajar di Madrasah Nahdhatul Wathan –lembaga pendidikan yang didirikan oleh Kyai Wahab Chasbullah pada tahun 1916. Beliaulah yang berhasil menghubungi Kyai Mas Alwi untuk menduduki jabatan sebagai kepala Madrasah Nahdhatul Wathan menggantikan Kyai Mas Mansyur. Beliau juga terlibat dalam kelompok diskusi Tashwirul Afkar (1918), dua lembaga yang menjadi embrio lahirnya organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Ketika NU sudah diresmikan, ia aktif di Cabang Surabaya dan mewakilinya dalam muktamar ke-13 NU di Menes, Pandeglang, pada tanggal 15 Juni 1938.

Dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia Kyai Ridhwan Abdullah ikut bergabung dalam barisan Sabilillah. Pengorbanan beliau tidak sedikit, seorang puteranya yang menjadi tentara PETA (Pembela Tanah Air) gugur di medan perang. Pada tahun 1948, beliau ikut berperang mempertahankan kemerdekaan RI dan pasukannya terpukul mundur sampai ke Jombang.

Banyak jasa perjuangan Kyai Ridhwan Abdullah, di antaranya beliaulah yang mengusulkan agar para syuhada yang gugur dalam pertempuran 10 Nopember 1945 dimakamkan di depan Taman Hiburan Rakyat (THR). Tempat inilah yang kemudian dikenal dengan Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa.

Kyai Ridhwan Abdullah sendiri meninggal dunia tahun 1962, dan dimakamkan di pemakaman Tembok, Surabaya. Bakat dan keahlian beliau dalam melukis diwarisi oleh seorang puteranya, KH. Mujib Ridhwan.

JASA BELIAU
Nama Kyai Ridhwan Abdullah tidak bisa dipisahkan dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan Jamiyah Nahdhatul Ulama. Pada susunan pengurus NU periode pertama, Kyai Ridhwan Abdullah masuk menjadi anggota A’wan Syuriyah. Selain menjadi anggota Pengurus Besar NU, beliau juga masih dalam pengurus Syuriyah NU Cabang Surabaya.

Pada tanggal 12 Rabiul Awal 1346 H, bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1927 diselenggarakan Muktamar NU ke-2 di Surabaya. Muktamar berlangsung di Hotel Peneleh. Pada saat itu peserta muktamar dan seluruh warga Surabaya tertegun melihat lambang Nahdhatul Ulama yang dipasang tepat pada pintu gerbang Hotel Peneleh. Lambang itu masih asing karena baru pertama kali ditampilkan. Penciptanya adalah Kyai Ridhwan Abdullah.

Untuk mengetahui arti lambang NU, dalam Muktamar NU ke-2 itu diadakan majelis khusus, pimpinan sidang adalah Kyai Raden Adnan dari Solo. Dalam majelis ini, pimpinan sidang meminta Kyai Ridhwan Abdullah menjelaskan arti lambang NU.

Secara rinci Kyai Ridhwan Abdullah menjelaskan semua isi yang terdapat dalam lambang NU itu. Beliau menjelaskan:
“Lambang tali adalah lambang agama. Tali yang melingkari bumi melambangkan Ukhuwah Islamiyah kaum muslimin seluruh dunia. Untaian tali yang berjumlah 99 melambangkan Asmaul Husna. Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Besar Muhammad SAW. Empat bintang kecil samping kiri dan kanan melambangkan Khulafaur Rasyidin, dan empat bintang di bagian bawah melambangkan madzhabul arbaah (empat madzhab). Sedangkan jumlah semua bintang yang berjumlah sembilan melambangkan Wali Songo.

Setelah mendengarkan penjelasan Kyai Ridhwan Abdullah, seluruh peserta majelis khusus sepakat menerima lambang itu. Kemudian Muktamar ke-2 Nahdhatul Ulama memutuskannya sebagai lambang Nahdhatul Ulama. Dengan demikian secara resmi lambang yang dibuat oleh Kyai Ridhwan Abdullah menjadi lambang Nahdhatul Ulama.

Sesudah upacara penutupan Muktamar, Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari memanggil Kyai Ridhwan Abdullah dan menanyakan asal mula pembuatan lambang NU yang diciptakannya. Kyai Ridhwan Abdullah menyebutkan bahwa yang memberi tugas beliau adalah Kyai Wahab Chasbullah. Pembuatan gambar itu memakan waktu satu setengah bulan.

Kyai Ridhwan Abdullah juga menjelaskan bahwa sebelum menggambar lambang NU, terlebih dahulu dilakukan shalat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Hasilnya, beliau bermimpi melihat sebuah gambar di langit yang biru jernih. Bentuknya persis dengan gambar lambang NU yang kita lihat sekarang.

Setelah mendengar penjelasan Kyai Ridhwan Abdullah, Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari merasa puas. Kemudian beliau mengangkat kedua tangan sambil berdoa. Setelah memanjatkan doa beliau berkata:
Mudah-mudahan Allah mengabulkan harapan yang dimaksud di lambang Nahdhatul Ulama.

KISAH PENCIPTAAN LAMBANG NAHDHATUL ULAMA (Muktamar NU Ke-2, Surabaya 1927)
NU dikenal sebagai ormas yang memiliki nama-nama legendaris seperti: Symbol Jagat, Bintang Sembilan, juga dikenal sebagai ormas yang memiliki Lambang Bumi. Lambang-lambang itu memiliki makna yang terus menemukan relevansi. Symbol tersebut juga mengalami perkembangan sesuai dengan dinamika zaman. Kedalaman makna symbol NU tersebut bisa dilihat dari proses penciptaannya, yang memang mengatasi kondoisi-kondisi manusiawi, sehingga makna yang disebarkan juga melampaui zaman.
Alkisah, menjelang Muktamar yang waktu itu lazim disebut Kongres, walaupun dalam dokumen resmi kata Muktamar juga digunakan. Dalam Muktamar NU ke-2 bulan Rabiul Awal 1346 H bertepatan dengan bulan Oktober 1927, di Hotel Muslimin Peneleh Surabaya memiliki cerita tersendiri. Kongres ini rencananya diselenggarakan lebih meriah ketimbang Muktamar pertama Oktober 1926 yang persiapannya serba darurat. Kali ini muktamar dipersiapkan lebih matang hanya bidang materi, manajemennya, tetapi juga perlu disemarakkan dengan kibaran bendera. Dengan sendirinya bendera perlu simbol atau lambang.

Pada saat itu Muktamar kurang dua bulan diselenggarakan, tetapi NU belum memiliki lambang. Keadaan itu membuat Ketua Panitia Muktamar Kyai Wahab Chasbullah, cemas, maka diadakan pembicaraan empat mata dengan Kyai Ridhwan Abdullah di rumah Kawatan Surabaya. Semula pembicaraan berkisar pada persiapan konsumsi Kongres NU, yang ketika itu dipegang oleh Kyai Ridhwan Abdullah. Kemudian pembicaraan beralih kepada lambang yang perlu dimiliki oleh NU, sebagai identitas dan sekaligus sebagai mitos.

Selama ini memang Kyai Ridhwan Abdullah telah dikenal sebagai Ulama yang punya bakat melukis. Makanya Kyai Wahab Chasbullah meminta agar dibuatkan lambang NU yang bagus buat Jam’iyah kita ini agar lebih mudah mengenalinya. Tentu saja permintaan Kyai Wahab Chasbullah yang mendadak tersebut agak sulit diterima. Tetapi akhirnya disepakati juga demi kehebatan NU, maka Kyai Ridhwan Abdullah mulai mencari inspirasi.

Beberapa kali sketsa lambang dibuat. Tetapi semuanya dirasakan masih belum mengena di hati, maka gambar dasar tersebut diganti lagi sampai beberapa kali. Usaha membuat gambar dasar lambang NU tersebut sudah diulang beberapa kali dengan penuh kesabaran hingga memakan waktu satu bulan setengah dengan demikian Kongres sudah diambang pintu semestinya sudah diselesaikan.

Sampai tiba waktunya, Kyai Wahab Chasbullah pun datang menagih pesanan.

“Mana Kyai, lambang NU-nya?” Tanya Kyai Wahab Chasbullah.

Dijawab oleh Kyai Ridhwan:

“Sudah beberapa sketsa lambang NU dibuat. Tapi rasanya masih belum sesuai untuk lambang NU, karena itu belum bisa kami selesaikan.”

Mendengar jawaban itu Kyai Wahab Chasbullah mendesak:

“Seminggu sebelum Kongres sebaiknya gambar sudah jadi lho!!..

Melihat ketidakpastian itu Kyai Ridwan Abdullah hanya menjawab:

“Insya Allah.”

Bagaimanapun waktu untuk membuat gambar yang sempurna, sudah demikian sempitnya. Maka jalan yang ditempuh oleh Kyai Ridhwan Abdullah adalah melakukan shalat istikharah. Minta petunjuk kepada Allah SWT. Pada suatu ketika shalat malampun dilakukan. Seusai shalat Kyai Ridhwan Abdullah tidur lagi. Dalam tidurnya Kyai Ridhwan Abdullah mendapat petunjuk melalui mimpi, ia tiba-tiba melihat sebuah gambar di langit biru. Bentuknya sama dengan lambang NU yang sekarang.

Pada waktu itu, jam dinding sekitar pukul 2 malam. Setelah terbangun dari tidur Kyai Ridhwan Abdullah langsung mengambil kertas dan pena. Sambil mencoba mengingat-ingat sebuah tanda di langit biru, dalam mimpinya, pelan-pelan symbol dalam mimpi tersebut dicoba divisualisasikan. Tak lama kemudian sketsa lambang NU pun jadi dan mirip betul dengan gambar dalam mimpinya.

Pada pagi harinya, sketsa kasar tersebut disempurnakan dan diberi tulisan Nahdhatul Ulama dari huruf Arab dan NU huruf latin. Dalam sehari penuh gambar tersebut dapat diselesaikan dengan sempurna. Maklum Kyai Ridhwan Abdullah adalah seorang pelukis yang berbakat.

Kesulitan yang kedua dihadapi oleh Kyai Ridhwan Abdullah adalah bagaimana mencari bahan kain untuk menuangkan lambang tersebut sebagai dekorasi dalam medan Kongres. Beberapa toko di Surabaya dimasuki, tak ada yang cocok karena warna-warna yang terlihat di dalam mimpi tak ada yang cocok dengan warna kain yang ada di toko-toko Surabaya.

Akhirnya Kyai Ridhwan Abdullah coba mencarinya ke Malang. Kebetulan kain yang dicari-cari ditemukan, sayang hanya sisa 4 X 6 meter. Walaupun jumlahnya hanya sedikit tapi tetap dibeli dan dibawa pulang ke Surabaya dan langsung dipotong sesuai dengan ukuran gambar yang sudah dirancang. Bentuk lambang NU itu dibuat memanjang ke bawah. Lebar 4 meter Panjang 6 meter, ini merupakan bentuk asli lambang NU.

Menjelang pembukaan Muktamar symbol NU telah dipasang di arena Muktamar yang megah. Symbol baru itu menambah keindahan suasana. Ketika Muktamar dibuka dan kepada Muktamirin diperkenalkan symbol baru tersebut, maka semua hadirin yang berjumlah 18 ribu orang itu berdecak kagum melihat gambar yang indah dan sakral tersebut. Symbol tersebut memang mewakili dinamika abad ke-19. Karena itu pada perjalanan berikutnya mengalami penyederhanaan sebagai pendinamisasian, sesuai dengan semangat zaman yang mulai bergerak menuju kemajuan, dan didorong oleh semangat perjuangan.

ARTI LAMBANG N.U


  1. Bola dunia : melambangkan bahwa dunia merupakan tempat hidup,berjuang dan beramal, serta melambangkan asal kejadian manusia itu dari tanah dan akan kembli kedalam tanah
  2. Peta Indonesia : menandakan NU didirikan di indonesia, berjuang untuk majunya Islam di NKRI
  3. TALI tersimpul : menandakan persatuan yang kokoh dan tak akan terpecahbelahkan
  4. Dua ikatan tali dibawah : lambang hubungan sesama manusia dan hubungan dengan Allah SWT
  5. Jumlah untaian tali sebanyak 99 buah : melambangkan jumlah Asmaul husna.
  6. Bintang melingkar diatas paling besar : Melambangkan kepemimpinan Nabi MUHAMMAD,SAW,
  7. Bintang kanan kiri ada 4 : melambangkan kepemimpinan Khulafaurrasyidin, Abu Bakar, Umar bin Katab, Utsman bin Affan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
  8. Empat bintang dibawah : Melambangkan empat madzhab utama. yaitu : Imam syafi'i. Hambali, Maliki, Hanafi
  9. Jumlah bintang sembilan melingkar : melambangkan wali songo yang menyebarkan islam di indonesia khususnya di tanah jawa
  10. Tulisan arab Nahdotul Ulama : Organisasi kebangkitan para Ulama
  11. Tulisan NU : singkatan dari Nahdotul Ulama
  12. Warna tulisan putih : melambangkan kesucian
  13. Warna latar hijau : melambangkan kesuburan

Rabu, 16 Mei 2012

RUU kesetaraan Gender

Harian Republika (Jumat, 16/3/2012), memberitakan, bahwa Rancangan Undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) sudah mulai dibahas secara terbuka di DPR. Suara pro-kontra mulai bermunculan. Apakah kita – sebagai Muslim – harus menerima atau menolak RUU KKG tersebut?

Jika menelaah Draf RUU KKG/Timja/24/agustus/2011 -- selanjutnya kita sebut RUU KKG – maka sepatutnya umat Muslim MENOLAK draf RUU ini. Sebab, secara mendasar berbagai konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep dasar ajaran Islam. Ada sejumlah alasan yang mengharuskan kita – sebagai Muslim dan sebagai orang Indonesia – menolak RUU KKG ini.

Pertama, definisi “gender” dalam RUU ini sudah bertentangan dengan konsep Islam tentang peran dan kedudukan perempuan dalam Islam. RUU ini mendefinisikan gender sebagai berikut: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (pasal 1:1)

Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya.

Tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah keluarga adalah berdasarkan wahyu (al-Quran dan Sunnah Rasul). Sepanjang sejarah Islam, di belahan dunia mana saja, tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga sudah dipahami, merupakan perkara yang lazim dalam agama Islam (ma’lumun minad din bid-dharurah). Bahwa yang menjadi wali dan saksi dalam pernikahan adalah laki-laki dan bukan perempuan. Ini juga sudah mafhum.

Karena berdasarkan pada wahyu, maka konsep Islam tentang pembagian peran laki-laki dan perempuan itu bersifat abadi, lintas zaman dan lintas budaya.

Karena itu, dalam tataran keimanan, merombak konsep baku yang berasal dari Allah SWT ini sangat riskan. Jika dilakukan dengan sadar, bisa berujung kepada tindakan pembangkangan kepada Allah SWT. Bahkan, sama saja ini satu bentuk keangkuhan, karena merasa diri berhak menyaingi Tuhan dalam pembuatan hukum. (QS at-Taubah: 31).

Jadi, cara pandang yang meletakkan pembagian peran laki-laki dan perempuan (gender) sebagai budaya ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, sifat syariat Nabi Muhammad saw – sebagai nabi terakhir dan diutus untuk seluruh manusia sampai akhir zaman – adalah universal dan final. Zina haram, sampai kiamat. Khamr haram di mana pun dan kapan pun. Begitu juga suap adalah haram. Babi haram, di mana saja dan kapan saja. Konsep syariat seperti ini bersifat lintas zaman dan lintas budaya.

Syariat Islam jelas bukan konsep budaya Arab. Saat Nabi Muhammad saw memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya – dalam hal-hal yang baik – maka perintah Nabi itu berlaku universal, bukan hanya untuk perempuan Arab abad ke-7 saja. Umat Islam sepanjang zaman menerima konsep batas aurat yang universal; bukan tergantung budaya. Sebab, fakta menunjukkan, di mana saja dan kapan saja, perempuan memang sama. Sudah ribuan tahun perempuan hidup di bumi, tanpa mengalami evolusi. Matanya dua, hidung satu, payudaranya dua, dan juga mengalami menstruasi. Perempuan juga sama saja, dimana-mana. Hanya warna kulit dan mungkin ukuran tubuhnya berbeda-beda. Karena sifatnya yang universal, maka konsep syariat Islam untuk perempuan pun bersifat universal.

Memang, tidak dapat dipungkiri, dalam aplikasinya, ada unsur-unsur budaya yang masuk. Misalnya, konsep Islam tentang perkawinan pada intinya di belahan dunia mana saja tetaplah sama: ada calon suami, calon istri, saksi, wali dan ijab qabul.

Tetapi, dalam aplikasinya, bisa saja unsur budaya masuk, seperti bisa kita lihat dalam pelaksaan berbagai upacara perkawinan di berbagai daerah di Indonesia.

Alasan kedua untuk menolak RUU Gender sangat western-oriented. Para pegiat kesetaraan gender biasanya berpikir, bahwa apa yang mereka terima dari Barat – termasuk konsep gender WHO dan UNDP – harus ditelan begitu saja, karena bersifat universal. Mereka kurang kritis dalam melihat fakta sejarah perempuan di Barat dan lahirnya gerakan feminisme serta kesetaraan gender yang berakar pada ”trauma sejarah” penindasan perempuan di era Yunani kuno dan era dominasi Kristen abad pertengahan.

Konsep-konsep kehidupan di Barat cenderung bersifat ekstrim. Dulu mereka menindas perempuan sebebas-bebasnya, sekarang mereka membebaskan perempuan sebebas-bebasnya. Dulu, mereka menerapkan hukuman gergaji hidup-hidup bagi pelaku homoseksual. Kini, mereka berikan hak seluas-luasnya bagi kaum homo dan lesbi untuk menikah dan bahkan memimpin geraja.

Lihatlah, kini konsep keluarga ala kesetaraan gender yang memberikan kebebasan dan kesetaraan secara total antara laki-laki dan perempuan telah berujung kepada problematika sosial yang sangat pelik. Di Jerman, tahun 2004, sebuah survei menunjukkan, pertumbuhan penduduknya minus 1,9. Jadi, bayi yang lahir lebih sedikit dari pada jumlah yang mati.

Peradaban Barat juga memandang perempuan sebagai makhluk individual. Sementara Islam meletakkan perempuan sebagai bagian dari keluarga. Karena itulah, dalam Islam ada konsep perwalian. Saat menikah, wali si perempuan yang menikahkan; bukan perempuan yang menikahkan dirinya sendiri. Ini satu bentuk pernyerahan tanggung jawab kepada suami. Di Barat, konsep semacam ini tidak dikenal. Karena itu jangan heran, jika para pegiat gender biasanya sangat aktif menyoal konsep perwalian ini. Sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa dalam pernikahan Islam, yang menikah adalah antara laki-laki (wali) dengan laki-laki (mempelai laki-laki).

Simaklah bagaimana kuatnya pengaruh cara pandang Barat dalam konsep ”kesetaraan gender” seperti tercantum dalam pasal 1:2 RUU Gender yang sedang dibahas saat ini: “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” (pasal 1:2).

Renungkanlah konsep semacam ini. Betapa individualistiknya. Laki-laki dan perempuan harus disamakan dalam semua bidang kehidupan. Lalu, didefinsikan juga:

“Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.” (pasal 1:4).

Jika RUU Gender ini akan menjadi Undang-undang dan memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka akan menimbulkan penindasan yang sangat kejam kepada umat Muslim – atau agama lain – yang menjalankan konsep agamanya, yang kebetulan berbeda dengan konsep Kesetaraan Gender. Misalnya, suatu ketika, orang Muslim yang menerapkan hukum waris Islam; membagi harta waris dengan pola 2:1 untuk laki-laki dan perempuan akan bisa dijatuhi hukuman pidana karena melakukan diskriminasi gender. Jika ada orang tua menolak mengawinkan anak perempuannya dengan laki-laki beragama lain, bisa-bisa di orang tua akan dijatuhi hukuman pula. Bagaimana jika kita membeda-bedakan jumlah kambing untuk aqidah antara anak laki-laki dan perempuan?

Alasan ketiga, RUU Gender ini sangat SEKULAR. RUU ini membuang dimensi akhirat dan dimensi ibadah dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan. Peradaban sekular tidak memiliki konsep tanggung jawab akhirat. Bagi mereka segala urusan selesai di dunia ini saja. Karena itu, dalam perspektif sekular, ”keadilan” hanya diukur dari perspektif dunia. Bagi mereka tidaklah adil jika laki-laki boleh poligami dan wanita tidak boleh poliandri. Bagi mereka, adalah tidak adil, jika istri keluar rumah harus seijin suami, sedangkan suami boleh keluar rumah tanpa izin istri.

Bagi mereka, tidak adil jika laki-laki dalam shalatnya harus ditempatkan di shaf depan. Dan sebagainya. Jika seorang perempuan terkena pikiran seperti ini, maka pikiran itu yang perlu diluruskan terlebih dulu. Biasanya ayat-ayat al-Quran dan hadits Rasulullah saw tidak mempan bagi mereka, karena ayat-ayat itu pun akan ditafsirkan dalam perspektif gender. Sebenarnya, perempuan yang kena paham ini patut dikasihani, karena mereka telah salah paham. Mereka hanya melihat aspek dunia. Hanya melihat aspek hak, dan bukan aspek tanggung jawab dunia dan akhirat.

Padahal, dalam perspektif Islam, justru Allah memberi karunia yang tinggi kepada perempuan. Mereka dibebani tanggung jawab duniawi yang lebih kecil ketimbang laki-laki. Tapi, dengan itu, mereka sudah bisa masuk sorga, sama dengan laki-laki. Perempuan tidak perlu capek-capek jadi khatib Jumat, menjadi saksi dalam berbagai kasus, dan tidak wajib bersaing dengan laki-laki berjejalan di kereta-kereta. Perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah bagi keluarga. Dan sebagainya.

Sementara itu, kaum laki-laki mendapatkan beban dan tanggung jawab yang berat. Kekuasaan yang besar juga sebuah tanggung jawab yang besar di akhirat. Jika dilihat dalam perspektif akhirat, maka suami yang memiliki istri lebih dari satu tentu tanggung jawabnya lebih berat, sebab dia harus menyiapkan laporan yang lebih banyak kepada Allah. Adalah keliru jika orang memandang bahwa menjadi kepala negara itu enak. Di dunia saja belum tentu enak, apalagi di akhirat. Sangat berat tanggung jawabnya.

"Dimensi akhirat” inilah yang hilang dalam berbagai pemikiran tentang ”gender”. Termasuk dalam RUU Gender yang sedang dibahas di DPR. Perspektif dari RUU ini sangat sekuler. (saeculum=dunia); hanya menghitung aspek dunia semata. Jika dimensi akhirat dihilangkan, maka konsep perempuan dalam Islam akan tampak timpang. Sebagai contoh, para aktivis gender sering mempersoalkan masalah ”double burden” (beban ganda) yang dialami oleh seorang perempuan karir.

Disamping bekerja di luar rumah, dia juga masih dibebani mengurus anak dan berbagai urusan rumah tangga. Si perempuan akan sangat tertekan jiwanya, jika ia mengerjakan semua itu tanpa wawasan ibadah dan balasan di akhirat. Sebaliknya, si perempuan akan merasa bahagia saat dia menyadari bahwa tindakannya adalah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.

Karena itu, jika Allah tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk berkiprah dalam berbagai hal, bukan berarti Allah merendahkan martabat perempuan. Tapi, justru itulah satu bentuk kasih sayang Allah kepada perempuan. Dengan berorientasi pada akhirat, maka berbagai bentuk amal perbuatan akan menjadi indah. Termasuk keridhaan menerima pembagian peran yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Pada akhirnya, dalam menilai suatu konsep – seperti konsep Kesetaraan Gender – seorang harus memilih untuk menempatkan dirinya: apakah dia rela menerima Allah SWT sebagai Tuhan yang diakui kedaulatannya untuk mengatur hidupnya? Seorang Muslim, pasti tidak mau mengikuti jejak Iblis, yang hanya mengakui keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan, tetapi menolak diatur oleh Allah SWT. Seolah-olah, manusia semacam ini berkata kepada Allah SWT: ”Ya Allah, benar Engkau memang Tuhan, tetapi jangan coba-coba mengatur hidup saya! Karena saya tidak perlu segala macam aturan dari-Mu. Saya sudah mampu mengatur diri saya sendiri!” Na’dzubillahi min-dzalika.

****

Tidak bisa dipungkiri, penyebaran paham ”kesetaraan gender” saat ini telah menjadi program unggulan dalam proyek liberalisasi Islam di Indonesia. Banyak organisasi Islam yang memanfaatkan dana-dana bantuan sejumlah LSM Barat untuk menggarap perempuan-perempuan muslimah agar memiliki paham kesetaraan gender ini. Perempuan muslimah kini didorong untuk berebut dengan laki-laki di lahan publik, dalam semua bidang. Mereka diberikan angan-angan kosong, seolah-olah mereka akan bahagia jika mampu bersaing dengan laki-laki.

Kedepan, tuntutan semacam ini mungkin akan terus bertambah, di berbagai bidang kehidupan. Sesuai dengan tuntutan pelaksaan konsep Human Development Index (HDI), wanita dituntut berperan aktif dalam pembangunan, dengan cara terjun ke berbagai sektor publik. Seorang wanita yang dengan tekun dan serius menjalankan kegiatannya sebagai Ibu Rumah Tangga, mendidik anak-anaknya dengan baik, tidak dimasukkan ke dalam ketegori ”berpartisipasi dalam pembagunan”. Tentu, konsep semacam ini sangatlah aneh dalam perspektif Islam dan nilai-nilai tradisi yang juga sudah dipengaruhi Islam.

Daripada bergelimang ketidakpastian dan dosa, mengapa pemerintah dan DPR tidak mengajukan saja ”RUU Keluarga Sakinah” yang jelas-jelas mengacu kepada nilai-nilai Islam? Buat apa RUU Gender diajukan dan dibahas? Dari tiga naskah akademik yang saya baca, tampak tidak ada dasar pemikiran yang kuat untuk mengajukan RUU Kesetaraan Gender ini. RUU ini cenderung membesar-besarkan masalah, dan lebih menambah masalah baru. Belum lagi jika RUU ini melanggar aturan Allah SWT, pasti akan mendatangkan kemurkaan Allah SWT.

Tugas kita hanya mengingatkan! Wallahu a’lam bil-shawab

Sabtu, 12 Mei 2012

Ikhtilaf dan Toleransi

Dalam masalah ushul, atau masalah furu’ yang dalilnya sudah Qath’i maka tidak boleh ada perbedaan pendapat, tidak boleh ada ijtihad dan tidak boleh ditambah-dikurangi. Maka bila ada pihak-pihak yang berbeda pendapat dalam hal itu maka setiap muslim harus berteriak lantang menentangnya, itulah sebabnya jangan heran kalau para ulama dengan tegas menentang pemikiran kelompok-kelompok sempalan pelaku bid’ah dalam masalah akidah, yaitu kaum Khawarij, Syiah Ghulat, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mujasimah, Musyabbihah, Mu’atillah.

Dalam masalah furu’ yang dzani dan ijtihadi maka boleh ada ijtihad, boleh ada variasi dan perbedaan pendapat. Setiap muslim tidak boleh bersikap keras atau fanatik terhadap pendapat atau mazhabnya. Dalam masalah ini perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan (pasti terjadi) dan harus saling ber toleransi.

Perbedaan pendapat dalam masalah furu’, fiqih-amaliah yang khilafiah ini sudah terjadi sejak jaman sahabat Nabi dan masa para salafus saleh. Para generasi salaf berbeda pendapat tapi tetap bersatu, tidak terpecah-belah dan saling ber toleransi. Tidak saling mencelah, tidak saling menyalahkan, tidak saling mencaci, tidak saling memvonis mubtadi (pelaku bid’ah), tidak saling mengkafirkan dan tidak mudah “menghukumi haram” terhadap suatu masalah yang tidak ada dalil qath’i yang tegas menunjukkan hukum haramnya.

Berikut ini riwayat-riwayat yang menunjukkan manhaj generasi salaf dalam masalah ikhtilaf :

  • Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwatta’ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Jadi manhaj salafus saleh adalah memaklumi perbedaan pendapat masalah ikhtilaf dan tidak memaksakan pendapatnya.
  • Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka maka membatalkan wudhu. Suatu hari kepada beliau ada yang bertanya : “Apakah engkau mau shalat dibelakang orang yang luka berdarah tetapi tidak berwudhu lagi ? “. Dengan nada meninggi Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Bagaimana saya tidak mau shalat dibelakang Imam Malik bin Anas dan Said Al Musayyab ?”. Kedua imam tersebut berpendapat bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka tidak membatalkan wudhu. Jadi manhaj salafus saleh adalah menghormati pendapat orang lain yang berbeda dan tetap menjaga ukuwah.
  • Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : “Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata : ‘Dari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada engkau”. Imam Malik berkata : “Bertanyalah”. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya menjawab : “aku tidak memandangnya baik”. Orang itu terus mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, “Bagaimana nanti kalau kau ditanya orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ?” Imam Malik berkata : “Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak menganggapnya baik”. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash qath’i yang tegas mengharamkannya.
  • Imam Al Auza’i (mufti dan fuqaha di Damaskus Syria) menceritakan pendapatnya tentang orang yang mencium istrinya : “Kalau orang itu datang padaku bertanya bagaimana hukumnya, maka akan aku katakan bahwa dia harus wudhu lagi, tetapi bila dia tidak mau wudhu lagi, aku tidak akan mencelanya”.
  • Imam Ahmad bin Hanbal berkata tentang sholat sunnah setelah ashar : “Kami tidak melakukannya tetapi kami tidak mencela yang melakukannya”.
  • Suatu hari, ada perbedaan perdebatan terbuka antara Ali bin Madini dan Yahya bin Mu’in tentang hukumnya menyentuh kemaluan : apakah membatalkan wudhu atau tidak ? Perdebatan ini dihadiri oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Kata Yahya bin Mu’in : “Orang itu harus wudhlu lagi”. Dia menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Busrah binti Shafwan sebagai dalil. Sedangkan Ali bin Madini pendapatnya berlawanan menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Qais bin Thalaq sebagai dalil. Kemudian Yahya menyampaikan pendapat Ibnu Umar sebagai dalil tambahan, dibalas lagi oleh Ali dengan pendapat Ammar bin Yasir. Menanggapi kejadian itu, Imam Ahmad bin Hanbal langsung menengahi, “Sudahlah, derajad Ammar dan Ibnu Umar sama. Siapa suka boleh mengambil pendapat salah satunya.”
  • Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mugni menceritakan sebuah ketentuan dalam mazhab Imam Ahmad bin Hanbal : “Menurut penegasan Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dibelakang orang-orang yang berbeda dengan kita dalam masalah cabang-cabang hukum fiqih, seperti para pengikut mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafi’’i hukumnya adalah sah dan sama sekali tidak makruh. Karena para sahabat, para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka masih tetap bermakmum kepada yang lain, walaupun berbeda pendapat dalam masalah hukum cabang itu. Dengan demikian, ketentuan ini merupakan salah satu kesepakatan (ijma’). Dan kalau diketahui bahwa imamnya meninggalkan sebuah syarat shalat atau salah satu rukunnya, yang diyakini oleh makmum tetapi tidak diakui oleh imam, maka menurut makna literal dari redaksi pendapat Imam Ahmad : shalat dibelakang imam itu tetap sah.
  • Dalam mazhab Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya dikatakan bahwa wudhu seseorang bisa batal karena keluar darah. Suatu hari imam Abu Yusuf (pengikut mazhab Abu Hanifah) melihat bahwa Khalifah Harun Al Rasyid berbekam kemudian langsung shalat tanpa wudhu terlebih dahulu, karena mengikuti pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa orang yang berbekam tidak batal wudhunya. Kemudian Imam Abu Yusuf langsung bermakmum dibelakang Khalifah Harun Al Rasyid dan tidak mengulangi shalatnya.
  • Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya berpendapat bahwa rambut yang sudah dipotong hukumnya najis, suatu hari Imam Syafi’i shalat setelah bercukur rambut, sementara dibajunya masih ada sisa-sisa rambut berceceran. Orang-orang yang melihatnya menanyakan hal tersebut, maka Imam Syafi’I menjawab : “Saat dalam kesulitan, kita mengambil pendapat penduduk Iraq (mazhab Imam Abu Hanifah)”.
  • Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatwa menceritakan bahwa Imam Syafi’i yang berpendapat menjaharkan (membaca nyaring) “Bismillahirrahmanirrahim” dalam shalat, tetap bermakmum kepada para ulama Madinah yang tidak pernah menjaharkan “Bismillahirrahmanirrahim”
  • Diriwayatkan dari Abu Bakar bin Al Khallal : diceritakan kepada saya oleh Al Hushain bin Basyar Al Makhrumi, bahwa yang bersangkutan telah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang masalah sumpah yang menjurus ke arah perceraian. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab tegas, “Kalaui dia melakukanm berarti dia telah melanggar sumpahnya”.
  • Lalu Al Hushain meminta jalan keluar, “Bagaimana kalau ada orang lain yang memfatwakan kepada saya, bahwa dia tidak melanggar sumpahnya (tidak jatuh talak perceraian) ?”. Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : “Kamu tahu pengajian para ulama Madinah ?” Al Hushain menjawab, “Ya” Saat itu memang ada beberapa ulama Madinah yang membuka pengajian di teras Masjid Agung Baghdad. “Apakah kalau mereka memberikan fatwa (berbeda), istri saya tetap halal ?” maka Imam Ahmad bin Hanbal menjawab : “Ya !”.
  • Baihaqi dalam Sunan Al Kubra meriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid : “Dahulu kami bersama Abdullah bin Mas’ud di Mudzalifah. Dan saat mereka memasuki Masjid Mina, beliau bertanya : “Amirul Mukminin (Usman bin Affan) shalat berapa raka’at ?” Mereka menjawab, “Empat raka’at”. Maka Ibnu Mas’ud langsung shalat empat raka’at tanpa membantah.
  • Mereka langsung mempertanyakan, “Bukankah anda yang meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah dan Abu Bakar melakukan shalat dua raka’at ?”. Ibnu Mas’ud menjawab : “Memang, dan sekarang saya akan meriwayatkannya untuk kalian. Tetapi Usman bin Affan sekarang adalah imam kita dan saya enggan berbeda dengannya, karena perbedaan pendapat (pada saat seperti) ini adalah buruk”.
  • Diriwayatkan pula bahwa Imam Syafi’i meninggalkan qunut saat shalat subuh di Masjid Imam Abu Hanifah. Ini bertentangan dengan mazhab beliau sendiri. Banyak yang mempertanyakan hal itu, maka Imam Syafii menjawab : “Aku tidak mencabut pendapatku tentang qunut pada shalat subuh tetapi aku menghormati pendapat Imam Abu Hanifah”.
  • Dari Ibnu Abdil Barr berkata dalam At Tahmid : “Penulis pernah mendengar guru besar kami Abu umar Ahmad bin Abdul Malik berkata : “Dahulu Abu Ibrahim bin Ishaq bin Ibrahim, guru besar kami, selalu mengangkat tangannya sebelum dan sesudah bangun dari ruku’, berdasarkan hadits Ibnu Umar yang tercantum dalam Al Muwatta’; sejauh yang penulis temui, beliau adalah terbaik yang paling menguasai fiqih dan paling benar dalam ilmu dan agamanya”. Penulis berkata : “Tapi kenapa anda tidak mengangkat tangan anda, agar kami bisa mengikuti anda ?” Beliau menjawab : “Saya tidak akan berbeda dengan bunyi hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Al Qasim, karena orang-orang disekitar kita sekarang ini melakukan ruku’ (tanpa mengangkat tangan) berdasarkan hadits itu. Dan tindakan yang berbeda dengan kebiasaan umum dalam hal-hal yang diperbolehkan bukan termasuk tradisi imam-imam kita”.
  • Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatwa nya mengatakan, “Apabila seorang makmum berjama’ah dengan imam yang membaca qunut pada shalat subuh atau shalat witir, selayaknya dia ikut membaca qunut. Tidak perduli apakah imamnya berqunut sebelum ruku’ atau sesudahnya. Sebaliknya, kalau imamnya tidak membaca qunut, makmum juga dianjurkan tidak berqunut. Begitu juga kalau imam memandang bahwa perbuatan itu disunnatkan, berbeda dengan pandangan para makmumnya, maka ; kalau dia meninggalkannya untuk menyatukan pendapat, tentu tindakan ini dianggap lebih baik”. Ibnu Taimiyah kemudian mengajukan sabda Nabi kepada Aisyah sebagai dalil : “Hanya karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah, aku tidak jadi menyuruh orang untuk meratakan bangunan Ka’bah, kemudian aku akan membuat bangunan baru yang mempunyai dua pintu, satu pintu untuk masuk dan pintu yang lain untuk keluar”. Terlihat disini, bahwa keinginan yang dianggap Nabi lebih baik ditinggalkan sendiri oleh beliau hanya supaya tidak menimbulkan antipati orang banyak.
  • Dibagian lain dalam buku Majmu Fatwanya, Ibnu Taimiyah berkata : “Karena itu, para imam, Ahmad dan lain-lainnya memandang akan lebih baik kalau seorang imam shalat meninggalkan sebuah perbuatan sunnat yang diyakininya, kalau hal itu bisa menarik simpati orang orang yang beriman”.
  • Ibnu Muflih dalam kitabnya Al Funun dalam bab Al Adab Ast Syari’ah berkata : “Tidak boleh keluar (menyalahi) dari adat kebiasaan masyarakat kecuali kalau perbuatan itu diharamkan, karena Rasulullah sendiri telah membiarkan bangunan Ka’bah begitu saja, seraya bersabda : “Kalau bukan karena kaummu baru meninggalkan masa jahiliyah…”

Fiqih Ikhtilaf
  • Pokok-pokok pedoman bagi pemahaman fiqih ikhtilaf :
  • Persatuan adalah wajib.
  • Menjauhi dan menghindari perpecahan.
  • Perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (cabang) adalah suatu kemestian yang pasti terjadi dan merupakan rahmat dan keluasan bagi umat.
  • Saling bertoleransi terhadap perbedaan pendapat masalah furu’ yang ijtihadi.
  • Tidak ada toleransi pada perbedaan pendapat yang nyeleneh pada masalah ushul (akidah) atau terhadap masalah yang dalilnya sudah qath’i (pasti) dan sharih (jelas).
  • Tidak memaksakan pendapat kepada orang lain.
  • Tidak memastikan dan tidak menolak mentah-mentah dalam masalah-masalah yang ijtihadi.
  • Bersikap moderat (pertengahan), tidak ekstrim berlebih-lebihan.
  • Bersikap obyektif dan menelaah perbedaan pendapat diantara para ulama.
  • Menahan diri dari “menyerang” kelompok yang berbeda pendapat dalam masalah khilafiah dari : memvonis sesat, fasik, zindiq, mubtadi (pelaku bid’ah) atau mengkafirkan.
  • Lebih memprioritaskan masalah yang lebih utama yang dihadapi umat daripada sekedar berkutat pada masalah ikhtilaf, seperti :
  • Ketinggalan science dan teknologi umat islam dibanding barat yang non muslim.
  • Kemiskinan dan kebodohan umat.
  • Kezaliman dan kesewenang-wenangang politik
  • Perang pemikiran (ghazwul fikri) yang menarik umat kearah materialistis, sekuleristis, hedonis.
  • Degradasi moral dan spiritual.
  • Zionisme dan Kolonialisme negeri negei Islam.
  • Menjauhi taqlid buta dan fanatisme
  • Mewajibkan taqlid pada salah satu mazhab atau kelompok tertentu.
  • Meneriakkan selogan bebas mazhab / tidak ber mazhab (dari empat mazhab yang sudah ada) tapi menjadikan imam yang lain sebagai mazhab ke lima.
  • Melarang taqlid pada ulama-ulama masa lalu tapi ber taqlid penuh pada ulama masa sekarang.
  • Merasa kelompoknya paling benar, paling super mendekati makshum yang bebas dari kesalahan.
  • Berperasangka baik kepada orang lain.
  • Adanya kemungkinan pluraritas kebenaran.
  • Tidak menyakiti orang yang berbeda pendapat.
  • Berdialog dengan cara yang baik dan ilmiah.
  • Menjauhi perdebatan sengit.

Maqashid Syari’ah (Tujuan Syara’)


Melalui penelitian yang mendalam akan diketahui bahwa semua syariat agama mengandung maksud, tujuan dan hikmah bagi kepentingan hamba. Semua perintah dan larangan dalam syariat agama mengandung kemaslahatan, baik yang mudah diketahui maupun yang belum diketahui karena akal manusia tidak mampu memahaminya.
Tuhan tidak mensyariatkan hukum-hukum secara kebetulan dan tanpa hikmah. Syara’ bermaksud dengan hukum-hukum itu untuk mewujudkan maksud-maksud umum. Kita tidak dapat memahami hakikat nash terkecuali jika kita mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’ dalam menetapkan nash-nash syariat itu. Harus diingat bahwa petunjuk-petunjuk lafazh dan ibarat-ibaratnya kepada makna yang kadang-kadang mempunyai lebih dari satu penafsiran makna. Untuk mentarjih penafsiran makna yang lebih tepat maka perlu memahami maksud syara’ (maqashid syari’ah).

Segala hukum muamalah, akal dapat mengetahui maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum yaitu berdasarkan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menolak masfadat terhadap mereka. Jadi segala yang membawa manfaat-maslahat adalah mubah dan segala yang membawa mudharat-masfadat adalah haram.

Ibnul Qayyim berkata :
“Dasar syariat ialah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syariat semuanya adil, semuanya rahmat dan semuanya mengandung hikmah. Tiap masalah yang keluar dari adil kepada curang, dari rahmat kepada bala’, dari maslahat kepada masfadat, dari hukmah kepada sia-sia maka bukanlah syariat. Syariat itu adalah keadilan Allah diantara hamba-Nya, rahmat Allah diantara makhluk-nya dan bayangan Allah dibumi-Nya dan himah-Nya yang menunjukkan kepada-Nya dan kebenaran Rasul-Nya”.

Maksud-maksud syara’ yang umum :
1. Memelihara segala yang dharuri (esensial dan fital) bagi manusia dalam kehidupan mereka, yaitu :
a. Memelihara Agama (dien).
b. Memelihara Nyawa (nafs).
c. Memelihara Akal (aqlu).
d. Memelihara Nasab-keturunan (nasl).
e. Memelihara Harta (mal).
Apabila yang dharuri ini tidak terpelihara maka kacaulah tatanan kehidupan, timbullah kekacauan dan kerusakan yang merata.

2. Menyempurnakan segala yang dihajati manusia.
Yaitu segala yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan untuk dapat menanggung kesukaran-kesukaran pembebanan (taklif) dan beban-beban hidup. Tetapi bila urusan itu tidak diperoleh, tidaklah rusak tatanan hidup dan tidak merata kekacauan, hanya mengalami kesempitan dan kesukaran saja.

Segala yang dihajati dalam pengertian ini meliputi segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, tata sosial kehidupan, kemudahan-kenyamanan hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh maka tiada cedera tatanan kehidupan, hanya saja dipandang tidak baik oleh akal yang sehat dan fitrah yang sejahtera.


Tingkatan Maksud Syara’

Tingkat Dharuriyah.
Yaitu tingkat yang harus ada, tidak boleh tidak ada. Apabila tidak difardhukan pokok-pokok ibadat maka manusia akan lupa dan berpaling dari Tuhan dan agama. Apabila tidak disyariatkan kita memrangi orang-orang yang merusak agama dan memaksa kembali orang yang murtad, tentu rusaklah urusan agama dan hilanglah pemeliharaannya.

Apabila tidak dihalalkan benda-benda yang baik untuk dimakan, diminum dan dipakai dan apabila tidak disyariatkan nikah dan pokok-pokok muamalah serta tidak difardhukan hukum-hukum jinayah maka akan hilang maslahat tertentu untuk memelihara jiwa, akal, keturunan dan kehormatan.

Apabila tidak disyariatkan pokok-pokok hukum yang berkenaan dengan hak milik dan penukaran manfaat serta tidak didakan hukum membayar barang yang kita rusakkan dan tidak disyariatkan hukuman untuk pencurian, perampokan tentu rusak maslahat harta.

Tingkat Hajiyah
Yaitu segala yang kita hajati untuk memperoleh keluasan hidup dan menolak kesempitan.
Umapamanya untuk memelihara agama kita dibolehkan mengqashar shalat ketika dalam safar atau menjama’ ketika sedang ada udzur yang syar’i.

Tingkat Tahsiniah.
Yaitu tingkat yang paling rendah, dengan hilangnya tingkat ini tidak menghilangkan tingkat asli serta tidak menimbulkan kepicikan dan kesukaran dalam hidup. Tingkat ini masuk bagian kesempurnaan untuk memelihara akhlak-akhlak tinggi dan adat-adat yang baik.

Sumber : http://ahmadfaruq.blogdetik.com

Jumat, 11 Mei 2012

2030, Pemeluk Islam Capai 2,2 Miliar Jiwa


REPUBLIKA.CO.ID, SOUTHERN CALIFORNIA -- Populasi Muslim di seluruh dunia naik pesat. Pew Research Center’s Forum on Religion & Public Life memperkirakan populasi Muslim akan tumbuh mencapai 35 persen dari total populasi dunia pada 20 tahun mendatang.

Jika pada 2010 jumlah pemeluk Islam mencapai 1,6 miliar jiwa, maka pada 2030 akan mencapai 2,2 miliar jiwa. Menurut lembaga itu, pertumbuhan jumlah umat Islam dua kali lebih besar dibandingkan non-Muslim pada dua dekade mendatang. Jika pertumbuhan jumlah umat Islam rata-rata mencapai 1,5 persen, maka non-Muslim hanya 0,7 persen.

Menyikapi fenomena itu, Direktur Islamic Center Southern California, Imam Jihad Turk menilai ada dua faktor yang menyebabkan populasi muslim meningkat pesat, pertama adalah angka kelahiran tinggi di kalangan umat Islam. Dan kedua, berbondong-bondongnya non-Muslim memeluk Islam.

"Tingkat kelahiran merupakan faktor utama yang memberikan sumbangsih. Sementara, faktor konversi lebih banyak karena pernikahan," kata dia seperti dikutip neontommy.com, Selasa (8/5).

Moises Gonzalez, yang baru saja memeluk Islam, merupakan contoh dari tren pernikahan yang dijelaskan Turk. "Saya jatuh cinta dengan seorang Muslimah. Sebagai bentuk keseriusan, saya memutuskan untuk berpindah agama," ungkap Gonzalez, yang saat ini tidak lagi mengkonsumsi babi dan alkohol semenjak memeluk Islam.

Hal serupa juga dialami Ti Miekel. Sebelumnya, ia tidak memeluk agama apapun. Namun, saat bertemu dengan suaminya, ia sadar harus membuat langkah perubahan. Salah satunya adalah memeluk agama."Suamiku tidak pernah memintaku untuk memeluk Islam Jadi, keputusanku memeluk Islam atas pilihan pribadi," kenang dia.

Sebelum Mikkel memeluk Islam, ia telah mencoba untuk mengenakan jilbab layaknya muslimah lain. Ia pun merasakan ketenangan. "Aku tidak memiliki masalah dengan tata cara berpakaian. Tapi aku melihat jilbab, sebuah pakaian yang memberikan kenyamanan," kata dia.

Sementara itu, Wakil Direktur Islamic Center Southern California, Soha Yassine, meningkatnya populasi muslim dibarengi dengan meningkatnya tentangan yang harus dihadapi muslim. Sebabnya, generasi baru muslim perlu untuk tumbuh dalam lingkungan dimana mereka dapat berbicara secara terbuka atas masalah yang mereka hadapi.

"Penting untuk diketahui generasi baru muslim untuk memahami bahwa menjadi muslim dan seorang warga AS tidaklah ekslusif," kara dia.

Turk menambahkan, kesalahpahaman tentang Islam merupakan pekerjaan rumah bagi setiap muslim. Adalah tugas seorang muslim untuk meluruskan hal itu. Harapannya esensi Islam sebagai agama cinta damai dapat dipahami. "Kebanyakan orang sekarang ini berpikir Islam adalah agama kekerasan. Padahal itu tidak benar," pungkasnya.

Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Agung Sasongko

Selasa, 08 Mei 2012

Pengertian dan Struktur Hadits

Pengertian
Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad.

Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti hadits di sini semakna dengan sunnah.

Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif, maka kata tersebut adalah kata benda.

Struktur Hadits
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).

Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (Hadits riwayat Bukhari)

Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah

Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW

Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.

Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :

  1. Keutuhan sanadnya
  2. Jumlahnya
  3. Perawi akhirnya

Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"

Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadits ialah: Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan, Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

sorry-desi-glitters-2.gif